Kajian Timur Tengah

Beranda » Amerika » Kilas Balik: Genderang Perang di Syria (2011)

Kilas Balik: Genderang Perang di Syria (2011)

New Release 2013

Prahara Suriah

New Release (2013)

"journey to iran"
"doktor cilik"
"princess nadeera"
"doktor cilik"
ahmadinejad

Baru nyadar, ternyata tulisan saya tahun 2011, tentang keterlibatan Barat dan Israel dalam konflik  Suriah, belum dimuat di blog ini. Tulisan ini saya buat bersama M. Arief Pranoto (research Associate di Global Future Institute). Saat itu, media mainstream masih menutup-nutupi banyak fakta. Info didapat dari jurnalis-jurnalis independen, antara lain kontributor Global Research (Canada). Kini, setelah dua tahun berlalu, apa yang kami tulis itu menjadi terungkap dengan sangat jelas: AS memang sangat berambisi menggulingkan Assad, demi membela Israel.

Tulisan berikut dimuat di IRIB Indonesia pada 22 Desember 2011.

Genderang Perang di Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki

Dina Y. Sulaeman dan M. Arief Pranoto

Some of the US forces that left the Ain al-Assad Air base in Iraq last Thursday, did not come back to the USA or its base in Germany, but were transferred to Jordan during the evening hours.”(Global Research, 12 Desember 2011).

Berita-berita dari luar media mainstream mulai menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashir Al Assad, Presiden Syria. Tentara AS yang konon sudah ditarik pulang, ternyata justru dipindahkan ke Yordania. Tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan lain menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria. Menurut Global Research, disinyalir, tentara-tentara asing itu adalah serdadu NATO.

Al Mafraq adalah nama daerah perbatasan di Yordania. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Syria. Bagi Yordania, Al Mafraq boleh dibilang “wilayah konspirasi” karena konspirasi yang dijalin oleh Yordania, Inggris, dan Israel guna menggulingkan pemerintahan di Syria pada masa lalu memilih Al Mafraq sebagai pusat kegiatan. Tokoh perintis di Al Mafraq bernama Salim Hatoom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta terhadap Presiden Suriah Nureddin al-Atassi dan Salah Jadid dekade 1960-an. Pada September 1968, ia melarikan diri ke Yordania dan mendirikan kamp militer di Al Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai ‘karir’ sebagai pemberontak terhadap pemerintah Syria.

Tampaknya kisah Hatoom, meskipun tak sukses, mengilhami Syrian Islamic Brotherhood dan sayap militernya, At-Taleeah ​​alIslamiyyah al-Muqatilah  untuk melakukan perjuangan  -atau pemberontakan- terhadap Hafez Al Assad, Presiden Syria (1971- 2000). Mereka menggunakan pola-pola yang sama dengan Hatoom:  dilatih oleh militer Yordania dan intelijen Israel, lalu turun ke jalanan kota-kota di Syria untuk melakukan kekacauan, merusak fasilitas umum, bahkan kalau perlu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain ialah menciptakan destabilisasi politik dalam negara. Tak heran bila aksi-aksi demo itu sampai berani menyerang markas militer dan bahkan menggunakan roket.

Agaknya, sejarah Syria kini tengah berulang. Sejak musim semi lalu, banyak serdadu Syria yang melarikan diri dan ditampung dalam di kamp militer di sebelah barat kota Salt, Yordania. Mereka kemudian diinvestigasi oleh intelijen militer Israel (AMAN), di bawah pengawasan intelijen Jordan. Tujuannya adalah untuk mengorek mencari informasi terkait kekuatan militer Syria pasca tahun 2006.

Selain itu, situs Al Watan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat negara-negara Barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan pembangunan stasiun mata-mata elektronok di dekat perbatasan Syria di utara Yordania, dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Syria dan mengontak pejabat-pejabat tinggi Syria agar mereka mau melakukan kudeta terhadap Al Assad.

Sementara itu, dari Turki, modus serupa juga tengah terjadi. Press TV merilis laporan bahwa ada indikasi bahwa kekuatan oposisi Syria sedang menjalani latihan militer di kota Hakkari, Turki, di bawah panduan NATO dan tentara AS. Bahkan, menurut koran Miliyet, Turki, sejak Mei lalu, 15.000 tentara Syria telah desertir dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Syria, yang dipimpin oleh kolonel pembelot Syria, Riad Al Assad. Riad Al Assad sejak beberapa waktu terakhir telah membelot dari militer Syria dan dikabarkan berada di pangkalan militer AS di Incirlik, Turki.

Press TV menulis, sejumlah pemberontak Syria mengakui adanya rencana yang disponsori pihak asing untuk melakukan operasi bersenjata dan membunuh rakyat sipil dan pasukan keamanan Syria, membuktikan bahwa perkembangan terakhir di negara itu adalah bagian dari upaya Barat untuk menggulingkan pemerintah saat ini dan menggantinya dengan rezim yang didukung AS.

Skenario yang amat mirip dengan Libya kini tengah berulang di Syria: AS dan NATO mengorganisir kaum pemberontak, memberi dana, dan memberikan pelatihan militer untuk kemudian mengadakan berbagai aksi kerusuhan dan pembunuhan di dalam Syria. Demonizing atau pembunuhan karakter terhadap Bashar Assad juga dilakukan dengan mengerahkan seluruh mesin propanda Barat. Assad dengan gencar diberitakan sebagai sosok kejam dan diktator, persis seperti Qaddafi.

Pertanyaannya sekarang, mengapa Syria?  Libya adalah negara dengan cadangan minyak terkaya di Afrika, sehingga masuk akal bila negara-negara Barat yang sudah kelimpungan akibat krisis ekonomi sedemikian bernafsu menguasai Libya. Tapi Syria, bukan negara kaya. Kesalahan Syria hanya satu: rezim Assad enggan berbaik-baik dengan Israel. Assad adalah satu-satunya pemimpin negara Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Assad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Assad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Assad adalah duri dalam daging. Lalu mengapa AS dan NATO sampai berkepentingan menghabiskan energi perang mereka demi Israel?

Menurut pakar Hubungan Internasional, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam makalah mereka, di sinilah letak kekuatan lobby Zionis. Kelompok-kelompok lobby Zionis sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri dan pada saat yang sama meyakinkan publik dan politisi AS bahwa  ada ‘kepentingan yang sama’ di antara AS dan Israel. Karena itu, gelombang penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan sangat mungkin merupakan taktik yang disebut Sun Tzu dalam art of war-nya, ‘mengecoh langit menyeberang lautan’. Seolah sedang menghentikan perang, namun sesungguhnya tengah memindahkan pasukan ke lokasi lain, bersiap untuk perang yang baru.

Namun, situasi tak semudah yang dibayangkan oleh AS. Ternyata, sanksi PBB untuk Syria gagal terbit karena dihadang oleh veto Cina dan Rusia. Merapatnya kapal perang Rusia memasuki laut Syria juga merupakan indikasi kuat bahwa Moskow siap melindungi sekutu dekatnya itu. Dari Iran, bendera pertempuran juga mulai berkibar.

Iran pun sudah berkali-kali melakukan aksi-aksi deterrence, bahkan termasuk latihan militer ‘penutupan Selat Hormuz’. Selat Hormuz adalah jalur distribusi minyak terpenting di dunia, dimana 40 persen minyak dunia didistribusikan melalui jalur ini. Tak heran bila anggota parlemen Iran Parviz Sorouri, berkata, “Iran akan membuat dunia tidak aman jika dunia menyerang Iran.” Hal ini senada dengan ancaman Assad, “Serangan terhadap Syria akan memicu konflik regional.” Bahkan Assad sudah sesumbar, jika Syria diserang, pihaknya akan membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang telah ia persiapkan lama.

Apakah akhirnya AS dan NATO tetap nekad melancarkan perang ke Syria, lalu berlanjut ke Iran, masih menjadi tanda tanya. Namun, pendapat Andrew Gavin Marshall, peneliti dan kontributor pada Central for Research on Globalization,  menarik untuk disimak. Menurutnya, gejolak yang terjadi di Timur Tengah ini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS, serta menghadang Rusia dan China. Tujuan akhirnya adalah membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dimana segelintir penguasa elit akan memperbudak mayoritas masyarakat dunia. Ia bahkan mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia III. Apa boleh buat, perkembangan politik memang unpredictable dan sering bersifat turbulent (tiba-tiba). Kita hanya bisa mencermati dan berharap pada bangkitnya gelombang kesadaran yang kuat di tengah masyarakat dunia, yang bisa melawan kekuatan-kekuatan arogan itu. []

Note:

Tulisan lanjutan dari M. Arief Pranoto (27 Des 2011) juga menarik dibaca sebagai kilas balik: Perang Sipil di Syria: Pancingan Perang Dunia III atau Holocaust?

Arsip 2007 ~ Sekarang