Perhatikan foto kiri. Anda bisa lihat, yang sebenarnya korban, di layar televisi malah terlihat seperti pelaku kejahatan.
Inilah yang banyak dilakukan media mainstream (dan media nasional Indonesia, yang cuma menerjemahkan berita-berita dari Barat begitu saja). Ibarat hitungan 1-100, media memberitakan kejadian mulai dari hitungan 50, 60, atau 70, sehingga publik kehilangan konteks.
Contohnya, kisah Palestina. Yang ramai diberitakan media pro-Israel (dan memang faktanya, pemilik saham perusahaan-perusahaan media terbesar di dunia adalah orang-orang pro-Israel) adalah serangan Hamas (dan kelompok-kelompok pejuang Palestina lainnya) terhadap Israel. Atas dasar itu, Hamas dimasukkan ke daftar organisasi teroris internasional. Informasi ini dilepaskan dari konteks sejarah: bagaimana konflik bermula?
Israel didirikan dengan resolusi PBB 181 th 1947 yang membagi dua tanah Palestina, sebagian diserahkan ke orang Yahudi untuk mendrikan Israel (itupun didatangkan dari berbagai penjuru dunia, bukan warga Yahudi asli yang tinggal di tanah itu). Lalu dimulailah pembantaian massal dan pengusiran besar-besaran terhadap orang Palestina yang “kebetulan” hidup di kawasan yang dihadiahkan PBB untuk Israel. Apakah justifikasi “dulu orang Yahudi ribuan tahun yll pernah hidup di Palestina” bisa dijadikan dalil untuk merampas tanah orang lain lalu mendirikan negara di atasnya? Tentu tidak. Kalau itu diterima, harusnya orang bule AS angkat kaki semua, karena tanah mereka ribuan tahun yang lalu dimiliki oleh bangsa Indian.
Banyak juga cerita disebarkan bahwa Palestina adalah bangsa primitif dan orang-orang Yahudi datang memakmurkan tanah itu. Padahal, Anda bisa klik link di bawah, ada film yang memperlihatkan rumah-rumah megah orang Palestina, para pemiliknya sudah diusir karena rumah itu berada di atas tanah “milik” Israel. Di rumah-rumah itu dulu tersimpan puluhan ribu buku, membuktikan bahwa bangsa Palestina sangat educated dan mereka adalah bangsa yang maju, bukan suku primitif. Kini buku-buku itu disimpan di perpustakaan Israel. Kisah ini menjadi ‘perampokan buku terbesar’.[1]
Karena kisah perlawanan pejuang Palestina dilepas dari konteks: yang disorot kamera adalah pemuda Palestina yang melempar batu atau menikam tentara Israel, maka yang ditangkap publik adalah orang Palestina-lah yang teroris dan Israel adalah korban.

Elizabeth Warren
Distorsi media ini seiring dengan narasi pro-Israel yang gencar disampaikan oleh elit politik AS, mulai dari presiden, hingga senator. Senator Demokrat, Elizabeth Warren, pernah mengatakan, “Israel punya hak untuk membombardir rumah sakit dan sekolah Palestina sebagai bentuk pertahanan diri,” katanya.[2]
Dalam perang Suriah, teknik distorsi seperti ini juga dilakukan para aktivis dakwah Indonesia yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Mereka (dan media-media yang berafiliasi dengan IM) selalu berkoar-koar menyebut Assad penjahat kemanusiaan karena telah melakukan pembunuhan massal di Hama tahun 1982. Konteks sejarahnya mereka sembunyikan: kejadian di Hama dipicu oleh pemberontakan bersenjata Ikhwanul Muslimin Suriah, yang dibantu suplai senjata dari AS, Jordan, dan Israel. Dan mengapa mereka membantu IM? Jawabannya bisa didapat dengan merunut lagi sejarah perang Suriah-Israel.
[1]https://dinasulaeman.wordpress.com/…/perampokan-buku-di-pa…/
[2] https://www.rt.com/usa/183744-elizabeth-warren-gaza-israel/