Dulu (2007-2011) ketika saya masih sering ‘perang’ di blog melawan para pembela Israel, saya pernah komen kesal, “Ngomong sama kalian nih kayak ngomong sama tembok ya!” Pasalnya, apapun yang saya tulis, mereka akan balik lagi ke teks-teks agama, ke klaim-klaim sejarah jadul, ke tuduhan-tuduhan yang tidak terverifikasi.
Eh, sekarang, model-model debat seperti ini masih mereka pakai rupanya (baca komen-komen di status saya sebelumnya). Padahal saya sedang menguliti falasi klaim-klaim mereka, tapi komentarnya balik lagi ke teks agama dan klaim sejarah (plus komen tak nyambung, misalnya: tanahnya kan sudah dibeli Israel, diusir kok mewek! Atau ‘Palestina itu tanah yang tandus ga ada orangnya!).
Sorry to say, di titik ini mereka ini setali tiga uang dengan para bigot pro-jihad palsu Suriah. Kedua kelompok ini sama-sama tekstualis, “Pokoknya ini kata Hadis /ini kata Alkitab/ini catatan sejarah versi saya! Apapun yang kautulis, pokoknya aku yang benar!” Para komentator pro Israel ini, meski santun dan seolah pintar berargumen, terlihat sekali mereka MENGABAIKAN apapun yang saya tulis.
Tapi no problemo buat saya, akan saya lanjutkan mengupas falasi mereka 🙂
Di bagian-2 saya tulis: sesuatu yang masih debatable (diperdebatkan) tidak bisa dijadikan premis, sehingga tidak bisa diambil kesimpulan yang logis.
Saya ulangi lagi dengan contoh:
Premis mayor : Semua pencuri harus masuk penjara
Premis minor : Si Fulan mungkin mencuri.
Karena masih “mungkin”, sama sekali ga bisa diambil kesimpulan yang logis, apalagi sampai mengambil tindakan (memenjarakan si Fulan, misalnya).
Nah, klaim-klaim sejarah tentang “hak Yahudi atas Palestina” berdasarkan Kitab Suci atau catatan sejarah, jelas debatable. Jangankan dibandingkan dengan versi Quran, dibandingkan pendapat sesama orang Yahudi atau Kristen pun, masih banyak perbedaan pendapat. Coba baca tulisan sejarawan Yahudi, Ilan Pappe; sejarawan Roger Garaudy, pernyataan para Rabi Yahudi anggota Neturei Karta, dll.
Ketika premisnya masih DEBATABLE, kesimpulan logis tidak bisa diambil, apalagi tindakan. Yang dilakukan orang-orang Yahudi Zionis adalah: memaksakan kesimpulan tidak logis atas premis yang debatable, dan bahkan melakukan TINDAKAN (pengusiran, perampasan tanah, pembunuhan massal).
Sekarang mari kita balik lagi ke bahasan falasi non causa-pro causa (baca bagian 1). Manakah yang sebab? Apakah kita harus mundur terus sampai ke zaman jebot untuk mencari sebab? Di bahasan falasi 1-2, sudah saya buktikan falasi orang-orang yang menarik urusan ini hingga ke jaman jebot ribuan tahun lalu. So, buktikan dulu bahwa kalian tidak falasi, baru kita bisa diskusi di titik itu.
Karena kita berada pada era modern, era nation-state, era ketika ada PBB, yang paling logis menurut saya adalah memulai diskusi ‘sebab’ di titik ini.
Pada tahun 1947, Dewan Keamanan PBB merilis Resolusi 181 yang isinya membagi dua wilayah Palestina. Di foto terlihat peta wilayah yang disebut “Palestina” pada saat itu. Peta ini dimuat di dokumen resmi PBB [1]. Yang saya tulis berikut ini sumbernya adalah DOKUMEN RESMI PBB, tambahan penjelasan dari saya ada di dalam […].
Ketika PBB didirikan tahun 1945, Palestina berada di bawah kekuasaan (mandat) Inggris dan Irlandia Utara. [kata yang dipakai oleh dokumen PBB: “Palestina” ya, catet.]
Pada masa itulah terjadi migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari berbagai negara, ke Palestina. Banjir imigran asing ini ditentang keras oleh warga Arab Palestina saat itu. Populasi Palestina saat itu 2 juta orang, 2/3-nya adalah warga asli [Arab Muslim, Arab Kristen, dan Arab-Yahudi], sisanya adalah para imigran asing. [catet: dokumen PBB mengakui demografi Palestina; berbeda dengan klaim propagandis Israel yang menyatakan bahwa Palestina adalah tanah kosong]
Menyusul terjadinya konflik antara warga asli dan pendatang, Inggris meminta PBB agar mengadakan sidang khusus untuk membahas masalah Palestina. PBB kemudian membentuk UNSCOP (UN Special Committee on Palestine) untuk “menginvestigasi” kondisi riil di lapangan. [Catat: sejak 1917, Inggris sudah menjanjikan kepada komunitas Yahudi Inggris, bahwa Inggris siap membantu mendirikan negara khusus Yahudi di Palestina, baca Deklarasi Balfour]
Negara-negara Arab tetangga Palestina (tergabung dalam Liga Arab) menolak gabung dengan komite ini sebagai bentuk protes, karena PBB menolak membahas isu kemerdekaan Palestina [yang saat itu dikuasai Inggris] dan menolak memisahkan isu pengungsi [imigran] Yahudi dengan nasib Palestina. [dengan kata lain, PBB sejak awal mensetting bahwa problem para imigran Yahudi satu kesatuan dengan urusan kemerdekaan Palestina. Palestina akan dikasih kemerdekaan jika negara Israel juga dibentuk di wilayah Palestina].
Walhasil, singkat cerita, dalam sidang tanggal 29 November 1947 PBB mengesahkan Resolusi 181 [33 suara setuju, 13 menolak, 10 abstain] yang isinya: 56% wilayah Palestina diserahkan ke Yahudi untuk membentuk negara khusus Yahudi (Israel), 44% untuk dijadikan negara bagi penduduk warga Arab (Palestina), sementara Yerusalem menjadi wilayah milik internasional.
Segera setelah resolusi itu disahkan, milisi-milisi “jihad” Yahudi, antara lain Irgun dan Haganah, langsung bergerak melakukan pembersihan etnis di kawasan yang jadi ‘jatah’ Israel. Yang mereka lakukan saat itu amatlah brutal, menghancurkan desa-desa (membakar, meledakkan, menanam ranjau) serta melakukan pembunuhan massal kepada warga yang melakukan perlawanan. Ini dicatat dalam buku sejarawan Ilan Pappe (dia ini orang Yahudi asli), bisa dibaca di bukunya “Pembersihan Etnis Palestina”.
Pada 14 Mei 1948, setelah 80% orang Palestina yang semula tinggal di kawasan “jatah” Yahudi diusir, Israel pun diproklamasikan. Sehari kemudian, negara-negara Arab yang marah atas seluruh proses pemaksaan berdirinya Israel, yang disusul pula oleh pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Arab, segera angkat senjata. (Dulu pemimpin negara-negara Arab itu masih punya sentimen persaudaraan Arab, belum kayak sekarang, terkooptasi oleh AS dan lobby-lobby Zionis). Meletuslah perang Arab-Israel 1948.
Nah di titik inilah falasi non causa-pro causa sering dilakukan: banyak orang memotong kejadiannya di sini, dengan narasi: “Israel berdiri baik-baik, eh malah diperangi oleh negara-negara Arab. Jadi yang agresor itu Arab!” Mereka mengabaikan rentetan kejadian sebelumnya.
(Bersambung, tapi selanjutnya adalah analisis berbasis data, bukan lagi mengupas falasi.)
—
Ref:
Dokumen PBB http://www.un.org/Depts/dpi/palestine/ch2.pdf dan http://www.un.org/Depts/dpi/palestine/ch1.pdf