Kajian Timur Tengah

Beranda » Palestina » Tentang Palestina (1): Berdirinya Israel dan Pengkhianatan Arab

Tentang Palestina (1): Berdirinya Israel dan Pengkhianatan Arab

New Release 2013

Prahara Suriah

New Release (2013)

"journey to iran"
"doktor cilik"
"princess nadeera"
"doktor cilik"
ahmadinejad
tenda palestina 1948

tenda-tenda pengungsi Palestina pasca perang 1948, di Lebanon

[Catatan: setelah seri “Logika Falasi Para Pembela Israel”, saya lanjutkan seri berikutnya. Sebaiknya, baca dulu seri logika falasi.]

Dalam dokumen resmi PBB [1] disebutkan bahwa pada 1947, Special Committee on Palestine (UNSCOP) yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah Palestina (yang saat itu berada di bawah kekuasaan/mandat Inggris) memutuskan untuk membagi 3 wilayah tersebut, 56% untuk warga Yahudi, 44% untuk warga Arab, dan kota Yerusalem menjadi wilayah internasional. Saat itu, delegasi Yahudi menerima tapi keberatan atas jumlah wilayah yang diberikan kepada mereka [ingin lebih luas lagi], sementara delegasi Palestina dan delegasi negara-negara Arab menolaknya, dengan alasan: melanggar Piagam PBB yang menjamin hak setiap orang untuk memutuskan nasibnya sendiri.

Ini yang dicantumkan dalam dokumen itu (perhatikan kata ‘negara’ yang dipakai di kalimat ini), “Mereka [Palestina dan negara-negara Arab] mengatakan bahwa Majelis telah mengusulkan sebuah rencana yang tidak layak bagi PBB dan bahwa bangsa Arab Palestina akan menolak segala bentuk skema yang dimaksudkan untuk membagi, mensegregasi, atau memecah NEGARA mereka, atau yang akan memberikan hak istimewa kepada minoritas.” [yang dimaksud minoritas adalah imigran Yahudi]

Mengenai situasi ini ada penjelasan yang simpel, disampaikan seorang jamaah haji Palestina, “Mereka itu pendatang yang membeli tanah dengan ukuran kecil, lalu mendirikan negara di atasnya dan mengganggu tetangga-tetangganya.” [2]

Meskipun ada penentangan dari pihak Palestina dan negara-negara Arab lainnya, Resolusi Pembagian Wilayah (UN Partition Plan 1947) tetap disahkan (33 suara setuju, 13 menolak, 10 abstain). Dari banyak sumber yang lain disebutkan bahwa AS telah memberikan ‘tekanan yang sangat besar’ kepada negara-negara Amerika Latin agar menyetujui resolusi ini, mereka pun terpaksa setuju karena kuatir kehilangan bantuan dari AS (antara lain dicatat oleh Richard Harman dalam bukunya America Betrayed).

Pertanyaannya tentu saja, yang berjanji sejak awal kepada komunitas Yahudi Inggris untuk memberikan tanah Palestina menjadi negara khusus Yahudi adalah Inggris (baca Deklarasi Balfour 1917), lalu mengapa Pemerintah AS yang paling berperan dalam proses pengesahan resolusi 181? Jawab: karena pasca PD II, memang AS-lah negara terkuat saat itu.

Dalam memoirnya, Harry Truman (Presiden AS ke-33) menulis,“Para pemimpin kaum Yahudi di AS memberi tekanan penuh kepada saya untuk menggunakan kekuasaan dan kekuatan Amerika bagi kepentingan aspirasi kaum Yahudi di Palestina.” Truman juga mengaku menerima 35.000 surat dan propaganda dari kaum Yahudi seantero Amerika ketika PBB tengah dalam proses membagi wilayah Palestina.

Dan ketika akhirnya PBB meloloskan Resolusi 181 yang membagi dua Palestina, Truman menulis surat kepada mantan Menteri Keuangan AS, Henry Morgenthau Jr, mendorong Morgenthau menyampaikan kepada teman-teman Yahudinya agar “kaum Yahudi menunjukkan toleransi dan tenggang rasa kepada orang lain di Palestina yang menjadi tetangganya.”[3]

Tentu saja, tak butuh waktu lama sampai Truman melihat bahwa pesannya itu tak pernah menemui kenyataan. Seperti saya tulis di status sebelumnya, segera setelah resolusi 181 disahkan Nov 1947, milisi-milisi “jihad” Yahudi, antara lain Irgun dan Haganah, langsung bergerak melakukan pembersihan etnis di kawasan yang jadi ‘jatah’ Israel dengan cara-cara yang amat brutal. Ini dicatat dalam buku sejarawan Ilan Pappe (dia ini orang Yahudi asli), bisa dibaca di bukunya “Pembersihan Etnis Palestina”.

Konflik kekerasan ini juga dicatat oleh Dokumen PBB, “The adoption of resolution 181 (II) was followed by outbreaks of violence in Palestine.” Situasi semakin lama semakin memburuk, sehingga Dewan Keamanan PBB kemudian bersidang pada 16 April -14 Mei 1948 untuk mengupayakan gencatan senjata.

Namun yang jadi hasilnya adalah: tepat pada 14 Mei 1948, Inggris melepaskan kekuasaan/mandatnya atas Palestina, dan di hari yang sama, agen Yahudi (“Jewish Agency”) mendeklarasikan berdirinya Israel.

Sehari setelah deklarasi, negara-negara tetangga Palestina mengirim tentaranya untuk ‘membantu saudara-saudara Arab’ mereka. Perang ini yang kemudian disebut sebagai “Perang Kemerdekaan” oleh Israel, sehingga memunculkan opini bahwa merekalah yang terjajah, lalu perang, dan akhirnya merdeka. Tanggal 14 Mei (hari proklamasi Isreael) juga disebut Hari “Kemerdekaan”.

Namun, dalam proses perang Arab-Israel 1948 ini, yang terjadi malah pengkhianatan. Raja Abdullah dari Jordan ternyata pernah berjanji kepada Inggris bahwa ia tidak akan mengganggu Israel. Jordan sebenarnya memiliki militer terkuat dibanding Mesir, Irak, dan Syria. Kalau mau, ia bisa menang perang. Namun, Jordan hanya berperang ecek-ecek, dan malah akhirnya menduduki Tepi Barat. Di akhir perang, Mesir menduduki Gaza dan Syria menduduki Golan.

Sebaliknya, ‘perang’ ini dimanfaatkan menjadi pretext (dalih) bagi Israel untuk merangsek ke wilayah-wilayah Palestina, sehingga akhirnya menduduki 60% wilayah yang semula jatah Palestina. Akibat perang ini, menurut dokumen PBB, telah terjadi krisis kemanusiaan yang besar, yang mengakibatkan 750.000 warga Palestina terusir dari kampung halaman.

Kejadian ini yang kemudian mendorong PBB bersidang lagi pada Desember 1948 dan merilis Resolusi 194 yang memberikan ‘hak kembali’ kepada para pengungsi Palestina, atau, untuk yang tidak mau kembali, harus diberi ganti rugi atas properti mereka yang kini dikuasai para imigran. Namun resolusi ini tidak pernah ditaati Israel. Hingga hari ini, mereka masih jadi pengungsi yang tersebar di berbagai negara.

Jadi, Palestina memang sejak awal dikhianati saudara-saudara Arabnya (kecuali Syria) dan komunitas internasional (yang menyatakan setuju atau abstain atas Resolusi 181/1947).

Di titik ini, banyak yang berfalasi, “Jadi ini yang salah Arab! Bukan Israel!” (ignorantio elency, berargumen dengan premis yang tidak relevan: apakah kebrengsekan negara-negara Arab bisa dijadikan alasan untuk pembenaran bagi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel? Bagi penguasaan Israel atas 60% wilayah Palestina menurut Res 181?). Falasi ini juga masuk ke non causa-pro causa atau falasi ‘tabrir’.

Menariknya, perang Arab-Israel 1948 ini sering dijadikan ‘bukti’ dari keterzaliman Israel. Propaganda ini secara masif disebarluaskan oleh mesin-mesin propaganda Zionis (as you know, jaringan media mainstream dunia dikuasai oleh pengusaha-pengusaha pro-Zionis). Tentu tidak aneh. Yang bikin saya tertawa miris adalah ketika mendengar propaganda ini disampaikan oleh orang-orang berkulit sawo matang, alias orang Indonesia-asli-banget.

(bersambung)


[1] Dokumen PBB http://www.un.org/Depts/dpi/palestine/ch2.pdf
[2] disampaikan komentator fanpage, bapak Amrizal.

[3] baca buku saya “Obama Revealed”, bisa download di sini: http://ic-mes.org/politics/unduh-gratis-obama-revealed/

 

 

Iklan

Arsip 2007 ~ Sekarang

%d blogger menyukai ini: