Baca bagian pertama
Baca bagian kedua
Q:Apakah benar sistem pemerintahan Islam Iran (yang di antaranya menetapkan aturan jilbab) merupakan akar masalah ekonomi?
A: Sebelum menjawab, saya cerita dulu.
Pemberitaan media mainstream tentang aksi demo antipemerintah Iran Desember 2017-Januari 2018, berusaha mengangkat perempuan tak berhijab sebagai bukti bahwa “Iran ingin perubahan [tidak lagi pemerintahan Islam].”
Berbagai website memakai foto yang ini lagi-ini lagi (mungkin karena tidak ada lagi yang lain):
Lalu, diviralkan pula (dan diberitakan luas) video seorang perempuan yang membuka jilbabnya di depan umum. Video itu pertama kali dipublish oleh web “My Stealthy Freedom”. Situs ini dimiliki oleh Masoumeh Masih Alinejad, seorang perempuan iran yang tinggal di New York. Menurutnya, kampanye membuka hijab adalah “silent protest against women’s subordination under sharia.”
Perempuan Iran digambarkan sedemikian sengsara di bawah “syariah”, kalau tak berjilbab dipenjara, dipukuli, dan berbagai cerita horor lainnya.
Seorang penulis perempuan Indonesia mempersepsi kejadian ini dengan kalimat berikut:
“Aksi melepas jilbab di ruang publik Iran itu adalah simbol yang kuat, bagaimana seorang warga negara kini melihat agama tidak sanggup lagi menjadi alat bagi pewujudan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Agama yang diterapkan dengan ekstrem dalam lini-lini kehidupan rupanya tidak menjamin lagi terwujudnya masyarakat yang ideal, ketika ia berkubang dalam pola pikir kekuasaan yang otoriter.”
Seorang pengamat (laki-laki) menulis di koran Kompas tentang Iran:
“Ideologi kubu konservatif dapat dikenali dari kebijakan luar negeri yang resisten terhadap Barat dan pandangan budaya Iran lebih kaya ketimbang bangsa lain. Akibatnya, parabola dilarang, internet dikontrol, ada pengawas kode berpakaian. AKIBATNYA program kerja pemerintahan kubu moderat tidak maksimal.”
Kedua penulis tersebut, sama-sama memandang jilbab berkorelasi dengan masalah ekonomi; pemerintahan atas dasar agama tidak bisa memberikan kesejahteraan.
Kritik pertama saya: bagaimana dengan kondisi masyarakat di negara-negara Afrika yang miskin, yang mayoritasnya Kristiani (jelas tak pakai jilbab), dan ekonominya tidak diatur oleh “pemerintah agama”?
Mari kita lihat dulu datanya. Salah satu indeks pengukuran kondisi sebuah negara yang dirilis oleh UNDP (PBB) adalah Human Development Index (HDI). Dalam penetapan index HDI, kondisi perempuan di sebuah negara juga diperhitungkan. Secara umum, jika HDI sebuah negara baik, kondisi perempuan di negara itu (minimalnya dari sisi pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja) baik pula.
Nah, Indonesia ada di ranking 113 dari 188 negara dan termasuk kategori Medium HDI. Sementara Iran, ada di ranking 69 (masuk kategori High HDI). Negara-negara maju seperti AS dan Eropa Barat ada di ranking paling atas dan masuk ke Very High HDI. Lalu, mari kita ambil 4 negara Afrika yang mayoritas warganya beragama Kristiani, yang berada di kategori Low HDI: Angola (150), Kamerun (153), Zimbabwe (154) dan Burundi, ranking 184 dari 188 negara dunia.
Mengapa perlu dibandingkan begini? Ya setidaknya bisa terlihat bahwa agama (pemerintahan atas dasar agama) bukan penyebab kesulitan ekonomi. Ada sangat banyak faktor penyebab masalah ekonomi sebuah negara.
Iran bisa mencapai HDI tinggi dalam kondisi 38 tahun diembargo oleh AS dan Eropa. Bisa dibayangkan jika semua embargo itu tidak ada. Bahkan Indonesia pun yang sebenarnya sangat butuh gas Iran (dan harganya jauh lebih murah), terpaksa tidak bisa beli karena ada ancaman pembekuan uang bila berani beli dari Iran. Pak Dahlan Iskan pernah menulis dengan terkagum-kagum atas kecanggihan teknologi migas dan turbin yang dimiliki Iran. Bisa dibayangkan seandainya Iran dibebaskan bekerja sama ekonomi dengan siapapun, kemajuan ekonomi seperti apa yang bisa dicapainya.
Juga, dari perbandingan ranking ini setidaknya bisa dirasakan, semiskin apa sih Indonesia? Sesusah apa nasib perempuan di Indonesia? Nah, dari sini bisa dikira-kira kondisinya di Iran seperti apa, karena HDI Iran jauh lebih baik daripada Indonesia. Kalau bisa datang langsung ke Iran, tentu lebih baik, jadi tak perlu repot mengira-ngira.
Kritik kedua: bila ada sekelompok perempuan Iran menolak jilbab (dan mereka dibela habis-habisan oleh sebagian kalangan), bagaimana dengan mayoritas lainnya yang setuju dengan kewajiban jilbab? Mayoritas warga Iran adalah Islam Syiah, mereka punya cara pendidikan agama dan budaya tersendiri, yang jelas berbeda dari orang Indonesia. Tradisi jilbab mereka adalah tradisi berusia panjang, ratusan tahun. Mengapa standar orang Indonesia tentang jilbab (apalagi standar kaum feminis) yang dipaksakan kepada mereka?
Mengapa Anda peduli pada satu orang yang buka hijab (itupun dalam kampanye yang ternyata digerakkan oleh seorang perempuan yang tinggal di AS) dan terburu-buru menyebutnya “simbol perlawanan terhadap pemerintahan agama” tapi mengabaikan puluhan, bahkan mungkin ratusan ribu perempuan berhijab lainnya yang tumpah ruah ke jalanan di berbagai kota di berbagai penjuru Iran, dalam demo tandingan (demo mendukung pemerintahan Islam)? Mengapa mengabaikan proses pilpres dan pemilihan majelis ulama (ulama yang dipilih rakyat akan duduk di majelis ulama atau Dewan Pakar yang bertugas memilih Leader/Wali Faqih/Rahbar dan mengawasi kinerjanya)? Bukankah ketika turn out vote dalam pemilu tinggi (bahkan jauh lebih tinggi dari TOV di AS yang konon dianggap “suhu” demokrasi) artinya ada persetujuan mayoritas terhadap sistem?
Republik Islam Iran didirikan tahun 1979 dengan referendum, UUD-nya pun ditetapkan melalui referendum. Mayoritas (di atas 90%) setuju. Lalu, di zaman now, ketika ada sekelompok kecil warga ingin mengganti sistem, apakah dibolehkan begitu saja? Apakah salah bisa sebuah negara mempertahankan sistem? Disertasi saya menggunakan teori Political Adaptation-nya Rosenau, dia ini orang AS, liberal. Dia pun menyebut bahwa sebuah negara memang harus mempertahankan struktur esensialnya; negara yang tak mampu mempertahankannya disebut maladaptive.
Secara logika saja, apa yang akan terjadi bila dasar negara sebuah negara bisa diubah-ubah sesuka hati sebagian warga? Bayangkan bila di Indonesia, ormas-ormas Islam versi Taliban ingin mengganti dasar negara. Anda akan biarkan? Tentu tidak. Tapi hal itu bisa saja terjadi jika mayoritas warga Indonesia sepaham dengan Taliban sehingga mayoritas warga sepakat melakukan referendum untuk mengubah dasar negara.
Kritik ketiga: mengapa pemerintahan agama (Islam) selalu dikritisi dari sisi jilbab?
Mengapa jilbab selalu dipermasalahkan, sementara pencapaian-pencapaian lainnya (tingkat pendidikan, kemajuan sains, kesempatan kerja, keikutsertaan dalam politik, perlindungan kepada pekerja perempuan, dll.) di Republik Islam Iran diabaikan? Saya pernah menulis makalah ini silahkan dibaca: Perempuan Iran: Observasi Antara HDI dan Konstitusi
Tentu di sini, kita harus melihat secara objektif. Ada beberapa negara yang menyebut diri pemerintahan Islam, dengan versi masing-masing dan tidak bisa disamakan. Afghanistan adalah Republik Islam; dan kita tahu di sana amat banyak simpatisan Taliban. Afghan sangat miskin, kondisi perempuannya pun buruk, indeks HDI-nya low, ranking 169. Sementara, kondisi di Arab Saudi berbeda. Di Saudi, kita tahu ada kalangan perempuan yang bebas berpakaian, ada pula yang sedemikian dikekeup dengan kain hitam. Tapi perekonomiannya dan indeks HDI-nya amat baik (ranking 38). Jadi apakah cara berpakaian perempuan di Afghan dan Saudi berkorelasi dengan tingkat ekonomi?
Iran pun sebuah negara yang khas, dengan penerapan sistem pemerintahan yang khas pula, sehingga menganalisisnya pun perlu objektif dan dengan menggunakan data yang valid.
Demikian, semoga bisa dipahami. Sekian dulu, tidak ada sambungan Q&A lagi. Tapi mungkin kapan-kapan saya menulis lagi.
****
Baca: seserius apa sih krisis ekonomi di Iran?
Baca juga hasil survei yang diadakan lembaga polling independen di AS terhadap rakyat Iran pasca demo Des 2017-Jan 2018, terlihat bahwa mayoritas rakyat Iran ternyata mendukung pemerintah dalam banyak isu (dan uniknya, mayoritas responden adalah pemilih Rouhani, artinya mereka dari kubu moderat). Download di sini.