A. TEORI KEDAULATAN
Setiap bangsa punya sejarahnya sendiri. Aceh dulu sebuah kerajaan, lalu setelah Republik Indonesia dibentuk oleh para Bapak Bangsa, Aceh menjadi bagian RI. Seandainya, hari ini, warga Aceh ingin merdeka, apa boleh? Papua melalui referendum sudah bergabung dengan Indonesia tahun 1969. Bila kini, karena tidak puas dengan pemerintah pusat, mereka ingin merdeka dan mendirikan negara sendiri, apa boleh? Jawa Barat adalah bagian Indonesia. Seandainya, sangat banyak warga Jabar yang terpengaruh ideologi HTI ingin merdeka dan mendirikan kekhilafahan sendiri, apa boleh?
Jawabannya akan bergantung pada teori yang dipakai.
Orang yang menolak teori kedaulatan mungkin bilang begini, “Berdasarkan sejarahnya, Aceh itu.. Papua itu.. Jawa Barat itu… bla.. bla…” Kesimpulan: sah-sah saja bila mereka ingin bikin negara sendiri!
Tapi bila kita pakai teori kedaulatan, kita akan memandang bahwa sebuah negara berhak mempertahankan keutuhan negaranya dengan harga berapapun, dengan perang sekalipun. Itulah sebabnya, kalau ada aksi separatisme di negara manapun, pemerintahnya pasti akan berusaha memadamkan aksi tersebut.
Seiring dengan berkembangnya demokrasi dan semakin mudahnya akses informasi [sehingga perilaku negara ‘diawasi’ dunia], negara pun semakin hati-hati dalam menghadapi kelompok separatis. Umumnya yang dilakukan adalah memberi konsesi [hak khusus], misalnya Aceh diberi hak khusus perda syariah; di Papua, pemerintah menggelontorkan APBD paling besar per kapita [dibanding provinsi lain]. Di Irak, kelompok Kurdi (yang memang hobi sekali bikin aksi separatis), dibolehkan bikin pemerintahan otonom. Tapi di Turki, kelompok separatis Kurdi (PKK) dikategorikan teroris (para anggotanya dipenjara).
Nah, berangkat dari teori kedaulatan/nonkedaulatan ini, mari kita melihat China. Ada satu provinsi di China, yaitu Provinsi Otonom Xinjiang, yang mayoritas warganya adalah Muslim. Ada 14 juta Muslim yang tinggal di sana, dari total 23 juta Muslim di China. Mereka berasal dari sepuluh etnis, salah satunya (yang terbanyak) adalah suku Uyghur. [1]
Suku Uyghur ingin merdeka dengan alasan sejarah bahwa mereka bukan orang China; mereka juga pernah mendirikan negara sendiri (Turkestan Timur). Pada tahun 1940-an, para pemimpin mereka setuju untuk bergabung dengan China. Namun, seiring waktu, muncul berbagai ketidakpuasan. Yang jelas, de jure&de facto, kini mereka bagian dari Republik China. Sebagian orang Uyghur mendirikan organisasi bernama Turkistan Islamic Party; mempersenjatai diri, melakukan aksi-aksi terorisme di Xinjiang, bergabung dengan ISIS di Suriah, mempublish video-video jihad dan mengancam akan mengalirkan sungai darah di China [2].
Nah, bagaimana sikap kita [orang Indonesia]?
Jawabannya akan kembali ke teori yang dipakai. Para pendukung teori antikedaulatan akan berkata, “Orang Uyghur sah-sah saja memerdekakan diri… kan sejarahnya…bla.. bla..”
Orang pro-khilafah akan berkata: jihad melawan rezim kafir itu wajib! Save Uyghur! [Buat mereka, jangankan China yang komunis, Pancasila dan NKRI pun dipandang sebagai thaghut/sistem kafir.]
Orang-orang pro-NKRI, tentu akan menggunakan logika kedaulatan: separatisme (apalagi dengan aksi-aksi bersenjata dan terorisme) adalah salah.
**
B. KATA ORANG…
“Tapi kan, kaum Muslim dilarang menjalankan ajaran Islam di China?! Masa kita sesama Muslim tidak membela mereka? Kamu Muslim bukan?!”
Pertanyaannya: yang Anda sebut itu, fakta atau bukan? Anda mengalami sendiri, atau kata orang? Mengapa Anda percaya pada ‘kata orang’ yang mengatakan demikian, tapi tidak percaya pada ‘kata orang’ yang menyatakan sebaliknya? Misalnya, kata mahasiswa-mahasiswa Muslim Indonesia yang saat ini sedang kuliah di China. Bahkan ternyata UUD China Bab 2 Pasal 26 mencantumkan kebebasan untuk beragama (dan tidak bergama) [3].
Kata orang mana yang bisa kita percaya? Nah, di sini perlunya triangulasi data [pembandingan, koroborasi data]. Yang jelas, saya tidak percaya pada omongan ormas-ormas radikal dan pengepul donasi yang seiring-sejalan dengan mereka; karena sudah 7 tahun mereka berbohong terus-menerus soal Suriah. Karena saya ada di Indonesia, tidak mungkin pergi ke China, yang bisa saya lakukan adalah mengecek validitas sumber berita.
Siapa yang membawa berita soal Uyghur? Sumber utama adalah media Barat yang kemudian dicopas-terjemah oleh media nasional/lokal. Narasumber media Barat utamanya: World Uyghur Congress (WUC), sebuah kelompok yang didanai NED, sebuah lembaga AS yang punya rekam jejak panjang dalam memobilisasi kudeta dan mengatur upaya propaganda menjatuhkan rezim-rezim yang tak disukai Washington. Perang Suriah, juga tak lepas dari peran NED [4].
Jurnalis Max Blumenthal pernah mewawancarai langsung Omar Kanat, ketua WUC. “Pemerintah China memasukkan lebih dari 1 juta orang di kamp pendidikan, mirip dengan kamp konsentrasi,” kata Kanat. Kanat menyebarkan info soal ini melalui Radio Free Asia, yang juga didanai AS. Angka yang tersebar soal kamp Uighur ini beragam, ada yang bilang 120 ribu, 500 rb, bahkan satu juta, tapi selalu saja sumber awal beritanya adalah Radio Free Asia. Menurut Kanat, dia sebenarnya tidak tahu berapa banyak orang di kamp itu dan dia mengandalkan “perkiraan media Barat” ketika menyebut angka satu juta.[5] Anda bisa lacak juga, siapa di balik produsen video soal Uyghur yang viral itu (Cordova Media).
Sebuah artikel opini di New York Times, mengaku bahwa “ firsthand accounts from former detainees remain rare “ [kesaksian dari orang yang memang pernah ditahan di kamp itu, sangat jarang]. Padahal, dalam 8 paragraf sebelumnya dia cerita panjang lebar tentang apa yang terjadi di kamp itu. Rupanya sumbernya dari tangan kedua, atau ketiga, atau entahlah. The Independent menulis berdasarkan kesaksian orang Khazakhstan yang konon pernah ditahan di kamp dan dia bilang dia dipaksa makan babi selama di kamp [sambil memberi catatan: some details are impossible to verify]. [6]
**
C. SIKAP NEGARA TERHADAP SEPARATISME
Sekarang, bagaimana sikap negara dalam menghadapi aksi terorisme dan separatisme?
Di Indonesia, para pelaku terorisme dan separatisme dijatuhi hukuman penjara.
Di AS, tertuduh-teroris (semuanya Muslim) sebagian ditahan di Guantanamo dan mengalami penyiksaan mengerikan. [7]
Di Iran, para teroris yang sudah terbukti di pengadilan melakukan pembunuhan, akan dihukum gantung.
Di Philipina, Duterte membumihanguskan Marawi sampai para teroris ISIS ‘habis’.
Di China? Jelas, pelaku aksi-aksi separatisme dan terorisme ditangkap dan dipenjara. Sementara yang lainnya, dididik supaya memiliki wawasan kebangsaan dan kemampuan ekonomi. Anda bisa lihat di video ini, bagian dalam ‘kamp pendidikan’ itu seperti apa. [8]
**
D. ASPEK GEOPOLITIK
Untuk bahasan geopolitik, sebaiknya baca saja tulisan bagus ini, daripada saya mengulang menuliskan hal yang serupa: https://www.facebook.com/the.badrbaseem.is.back/posts/694897717578066
***
Ref:
[1] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20181228163043-106-357082/dubes-china-sebut-pemberitaan-soal-uighur-sesat
[2] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170303130505-113-197586/isis-uighur-darah-bakal-mengalir-di-sungai-china
[3] https://mojok.co/nvb/esai/surat-terbuka-untuk-hmi-yang-unjuk-rasa-bela-muslim-uighur-di-cina/
[4] pernah saya ceritakan di buku Prahara Suriah
[5] https://grayzoneproject.com/2018/08/20/inside-americas-meddling-machine-the-us-funded-group-that-interferes-in-elections-around-the-globe/
[6] https://www.nytimes.com/2018/05/15/opinion/china-re-education-camps.html // https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-re-education-muslims-ramadan-xinjiang-eat-pork-alcohol-communist-xi-jinping-a8357966.html
[7] https://www.presstv.com/DetailFr/2018/11/18/580331/US-911-prosecutor-Guantanamo-prisoners-Jeffrey-Groharing-CIA-blacksite-prisons
[8] https://www.youtube.com/watch?v=b_DIewvuzSw&feature=youtu.be
—
Photo karya Pete Niesen: pria-pria Uyghur menari di depan masjid di bulan Ramadan (2 Oct 2008) [https://peteniesen.photoshelter.com/image/I0000duIVg1PwBsM]