Kajian Timur Tengah

Beranda » Amerika » Kasus Ukraina-Rusia dari Perspektif Balance of Power

Kasus Ukraina-Rusia dari Perspektif Balance of Power

New Release 2013

Prahara Suriah

New Release (2013)

"journey to iran"
"doktor cilik"
"princess nadeera"
"doktor cilik"
ahmadinejad
https://web.facebook.com/DinaY.Sulaeman/videos/289616323275797

Konflik ini, kalau dibahas serius, secara akademis, tentu tidak cukup ditulis di status-status FB. Bahkan sejak dari judul saja sudah bikin males “Kasus Ukraina-Rusia dari Perspektif Balance of Power” karena ala skripsi banget (buat sebagian orang).

Tapi saya akan coba jelaskan sedikit saja, secara teoretis gimana sih menganalisis konflik ini? Saya antara lain belajar dari Prof Mearsheimer ini (video ini hanya beberapa menit dari kuliah umum beliau tahun 2015, link versi full di bawah).

Yang perlu dicatat: ketika seorang dosen menganalisis konflik A versus B, TIDAK BERARTI dia mendukung si A atau si B. Analisis itu bisa dipakai untuk apa saja, tergantung pengguna.

Prof Mearsheimer ini, dia menjelaskan dengan tujuan agar para pengambil kebijakan luar negeri AS bisa mengambil kebijakan yang tepat. Bahkan posisi dia adalah: Kalau AS mau tetap berkuasa/dominan di dunia.. seharusnya.. [jadi, dia mengkritik pemerintahnya sendiri bukan dengan tujuan membela Putin, tapi mengajarkan strategi yang tepat untuk menundukkan Rusia.]

Ok, lanjut. Dalam studi HI itu, ada beberapa perspektif yang umum dipakai untuk menganalisis konflik, antara lain, realis, liberalis, konstruktivis, dll. Nah Prof Mearsheimer ini penganut mazhab realis.

Pemikir realis, antara lain, akan melihat konflik dari sisi power (kekuatan/kekuasaan) dan perimbangan kekuasaan (balance of power). Dulu, ada blok Barat (AS) dan Timur (Soviet). Pasca Perang Dingin, dari sisi balance of power inilah, dipahami bahwa Rusia sebagai pewaris Soviet, akan terus berusaha mempertahankan agar dirinya tetap punya power di tengah negara-negara Eropa timur yang satu demi satu bergabung dengan Barat.

AS pun sebenarnya melakukan hal yang sama. Misalnya, AS pasti tidak akan terima seandainya China bikin pangkalan militer di Kuba. AS juga berisik kan, di Laut China Selatan? Bahkan menasehati Indonesia: jangan dekat-dekat sama China, karena komunis. Nah itu disebut upaya “balance of power” (jangan sampai musuh lebih kuat dari gue).

Rusia jauh-jauh hari sudah bilang, jangan lakukan ekspansi NATO ke timur, kalau berani, gue akan lawan. Peran Ukraina di sini sebenarnya disetting sebagai buffer zone, (wilayah netral) yang memisahkan antara negara-negara NATO dengan Rusia.

Tapi, yang dilakukan AS justru sebaliknya: dengan berbagai cara berusaha menarik Ukraina ke dalam aliansi Barat.

Apa kepentingan AS di sini? Prof Mearsheimer bilang: sebenarnya AS tidak ada kepentingan strategis (intinya: Ukraina tuh ga penting-penting amat buat AS). Kurang lebih dia bilang, “Makanya saya heran, geng di Washington ini mikirnya gimana sih?? Bukannya kita butuh Rusia untuk menghadapi Iran, untuk menang di Suriah? Mengapa malah membuat Rusia menjauh dari kita?”

(Kalau saya punya jawaban: sebabnya, karena geng Washington itu berkolusi dengan perusahaan multinasional. Determinan kebijakan luar negeri itu, salah satunya kan perusahaan multinasional; mereka ini maunya perang terus supaya bisnis mereka tetap jalan; saya pernah bahas di podcast “Ada Bisnis Senjata di Yaman”[1] )

Menurut Mearsheimer, dalam pertarungan geopolitik di Eropa ini, “deep cause” atau akar penyebab dari semua manuver AS adalah: ingin menarik Ukraina dari Rusia; supaya masuk ke aliansi Barat.

Lalu, strategi AS yang dipakai untuk mencapai tujuan ini adalah:

1. Membujuk Ukraina untuk masuk NATO. Sebenarnya ini juga rayuan gombal, nyaris tidak mungkin NATO menerima Ukraina, kata Mearsheimer. Alasannya: kalau Ukraina masuk NATO, artinya, NATO berkewajiban membela Ukraina kalau diserang pihak lain, NATO ga mau rugi.

2. Berusaha menarik ekonomi Ukraina ke dalam pasar bebas Uni Eropa (saya pernah bahas di tulisan “Ukraina adalah Suriah yang Lain” [2])

3. Menggunakan “revolusi oranye.” Tahun 2014, AS dengan memanfaatkan kelompok radikal (neo-Nazi) dan kelompok-kelompok pro-demokrasi telah memprovokasi “revolusi” (dengan alasan demokratisasi dan antikorupsi). Saya sudah bahas di tulisan ini [3].

(Saya pernah nulis bahwa AS ini mengucurkan dana sangat besar ke berbagai negara, untuk “demokrasi,” termasuk ke Indonesia [4])

Nah sejak kudeta 2014 inilah prahara Ukraina semakin menjadi, ada perang antara etnis Ukraina [tentu ini didominasi elit + milisi; populasi mayoritas tentunya ingin damai saja] yang menindas etnis minoritas, yaitu etnis Rusia.

Konflik di kawasan Donbass (Ukraina timur) ini tak banyak diketahui publik karena media Barat cenderung diam selama 8 thn ini. Media nasional juga kan hanya sekedar memberitakan ulang dari media Barat. Anda bisa baca liputan Eva Bartlett soal perang ini. [5]

(Eva ini juga berjasa dalam meliput Gaza, dan Suriah, ketika media mainstream cenderung diam.)

Sekian dulu. Kalau mau mendalami, simak saja versi full kuliah Prof Mearsheimer. [6]

[1] Podcast Dina: https://www.youtube.com/watch?v=KLnSJmW5h4Y

[2] Ukraina adalah Suriah yang Lain-1 https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/photos/a.234143183678611/1372143439878574/

[3] Ukraina adalah Suriah yang Lain-2 https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/photos/a.234143183678611/1372154159877502

[4] Jejaring NED di Indonesia: https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/posts/804465806646343

[5] Tulisan Eva Bartlett https://www.mintpressnews.com/under-fire-from…/262363/

[6] Kuliah umum Prof Mearsheimer https://www.youtube.com/watch?v=JrMiSQAGOS4

Iklan

Arsip 2007 ~ Sekarang

%d blogger menyukai ini: