“Khiam Detention Center”

Salah satu situs yang saya kunjungi di Lebanon adalah Penjara Khiam. Penjara ini, dulu dikenal sangat mengerikan karena orang-orang yang dipenjara di sana disiksa dengan cara-cara yang sangat brutal.
Awalnya, kompleks bangunan Khiam ini berfungsi sebagai barak militer, dibangun oleh Prancis tahun 1933 (saat itu Prancis berstatus sebagai penguasa “mandat” atas Lebanon). Lokasinya di atas bukit di kawasan Lebanon selatan. Jadi, perjalanan menuju ke Khiam dari Beirut kita naik ke arah perbukitan, di kanan jalan terlihat lautan Mediterrania yang birunya indah banget (beda dengan laut lain yang saya lihat sebelumnya). Di kiri jalan, terlihat bukit-bukit dengan perumahan di atasnya (jadi rumah/gedung apartemen di sana seperti vila, ada di perbukitan.
Dari lokasi penjara Khiam yang ada di atas bukit, kita bisa melihat ke bawah: dataran tinggi Golan dan jalur Galilee yang kini diduduki Israel. Tahun 1943, setelah Lebanon merdeka dan Prancis angkat kaki, barak Khiam dikuasai militer Lebanon. Tahun 1982, Israel menginvasi dan menduduki Lebanon selatan. Tahun 1985, Khiam dikuasai Zionis dan milisi Lebanon (South Lebanese Army-SLA) yang bekerja sama dengan Zionis. Barak ini kemudian difungsikan sebagai penjara dan pusat penyiksaan terhadap para pejuang Lebanon yang melawan pendudukan Israel.
Singkat cerita, perang melawan Israel terus berlanjut dan tahun 2000, Israel berhasil diusir dari Lebanon dan orang-orang yang dipenjara di Khiam dibebaskan. Penjara ini dijadikan museum yang bisa dikunjungi turis, untuk mengetahui seperti apa kekejaman Zionis.
Kondisi bangunan Khiam saat ini sebagiannya sudah tinggal puing-puing karena tahun 2006 dibombardir Israel (dalam Perang 34 Hari). Tapi sebagian masih berdiri, menjadi saksi kejahatan Israel. Misalnya, ruang-ruang sel yang sangat sempit, ada sel 1×1 m, ada 2×2 meter (ini diisi 6 orang, berdesakan), dan 2×1,5 m. Saking sempitnya dan tersiksanya para tawanan, sel-sel penjara di Khiam dijuluki “penjara kuburan.” Kaum perempuan juga ada yang ditahan dan disiksa di penjara Khiam.

Ada hal menarik yang terjadi saat kami ke Khiam, yaitu, ada seorang mantan tahanan Israel bersama kami. Namanya Walid. Dia pernah dipenjara Israel selama 10 tahun, sejak usia remaja (saat ini usianya baru 22 tahun). Setelah dilepaskan dari penjara, dia diusir, tidak boleh lagi masuk ke kawasan Palestina (oleh Zionis). Saat ini Walid tinggal di Qatar dan menjadi aktivis pejuang Palestina.
Walid beberapa kali diminta oleh guide museum untuk memperagakan penyiksaan yang dilakukan di Khiam, misalnya, ia disuruh masuk ke sel yang sangat kecil, lalu pintu sel itu dipukuli dengan keras (pintunya terbuat dari besi, sehingga saat dipukul suaranya sangat memekakkan telinga). Kata guide museum (dia ini dulu mengalami sendiri penyiksaan di Khiam), hal itu dilakukan sepanjang hari oleh Zionis, sehingga tawanan tidak ada kesempatan untuk tidur, karena selalu diganggu oleh suara memekakkan.
Dari Khiam, kami dibawa mampir ke kawasan bernama Odaisseh. Dari sini, kita bisa melihat kawasan yang kini sedang diduduki Israel (Galilee dan Golan). Saya melihat Walid menatap ke kejauhan dengan penuh keharuan, jelas sekali ia rindu pada tanah airnya. Ia membawa bendera Palestina dan berfoto bersama bendera itu. Saya juga minta berfoto bareng Walid.
Bersama kami saat itu, ada Dr. Tim Anderson (beliau ini tadinya dosen di Sidney University, tapi karena tulisan-tulisannya yang pro-Palestina, ia dipecat oleh kampusnya yang mendapatkan tekanan dari kaum Zionis Australia). Sebelum pemecatan, beliau dibully dan mengalami pembunuhan karakter di media-media massa.
Saya sudah lama mengikuti tulisan-tulisan Dr. Tim (sejak awal perang Suriah; lalu beliau menulis buku “The Dirty War on Syria”). Ketika tiba-tiba tanpa diduga saya bisa ketemu langsung di Beirut, lalu berhari-hari ke sana-sini (mengikuti berbagai agenda) bersama beliau, sungguh kejutan yang sangat menyenangkan.
Orangnya selain pinter banget, juga amat ramah, penuh perhatian, dan bisa sedikit berbahasa Indonesia. Suatu saat, kami ada acara makan malam sampai sangat larut dan dan saya sudah sangat kelelahan. Dr. Tim dengan ramah menawarkan untuk mengantar saya pulang duluan ke hotel, jalan kaki saja, karena tidak jauh. Tapi, dilarang oleh panitia, dengan alasan keamanan. Jadi harus tetap pulang bersama rombongan.
Dr. Tim juga menghadiahi saya buku terbaru beliau, lengkap dengan tanda tangannya. (Thank you Dr. Tim! )