(Dina Sulaeman)
—

(terjemahan beberapa paragraf pertama)
Hawa terasa beku ketika saya tiba di Teheran pada bulan Desember tahun lalu. Saya datang untuk menghadiri Tehran Dialogue Forum. Polusi Teheran membuat matahari pagi terasa sangat suram, namun pohon Natal di lobi hotel dengan dekorasi warna-warni mengembalikan suasana hati.
Kami kemudian mengikuti rangkaian acara dialog, dan salah satu pembicara, Dr. Kamal Kharrazi, menyebutkan sebuah istilah. Menurutnya, banyak media asing yang terlibat dalam perang melawan Iran dengan mengacaukan opini publik, yang disebut “perang kognitif”.
Saya merasa sangat terhubung dengan apa yang dikatakan Kharrazi. Beberapa orang mengkhawatirkan saya ketika akan berangkat ke Iran karena menurut mereka, Iran penuh dengan kekacauan dan kerusuhan. Dan memang itulah yang disebarluaskan oleh media-media di Indonesia karena mereka hanya mengulang berita dari media Barat.
Saya menemukan situasi di Teheran dan kota-kota lain yang saya kunjungi baik-baik saja. Perempuan berjalan dan melakukan aktivitas di tempat umum dengan aman. Ada yang berhijab rapi, ada juga yang tidak.
Beberapa orang menyatakan keheranannya ketika saya memposting foto saya di lokasi TDF di Facebook, di mana saya sedang duduk dengan dua wanita di tengah begitu banyak peserta pria. Kejutan ini tidak aneh mengingat betapa masifnya pemberitaan tentang “betapa kejamnya rezim ini memperlakukan perempuan”. Media telah membentuk opini publik tentang Iran.
Seperti yang ditulis oleh Waltzman (2022), mengutip dari Bernal et al., “perang kognitif dapat secara fungsional didefinisikan sebagai ‘persenjataan opini publik, oleh entitas eksternal, untuk tujuan (1) memengaruhi kebijakan publik dan pemerintah dan (2 ) mendestabilisasi institusi publik.'”
–selanjutnya baca di link berikut ini
https://www.tehrantimes.com/news/481885/The-cognitive-war-against-Iran-and-geopolitical-shift