Kajian Timur Tengah

Beranda » Bahrain

Category Archives: Bahrain

Repost – Chavez, in Memoriam

(meninggal 5 Maret 2013).

Chavez adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya melintasi batas agama dan bangsa. Saat dunia beramai-ramai melakukan pembunuhan karakter terhadap Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran, yang tampil sebagai pembela terdepan justru seorang Nasrani dari Amerika Latin: Hugo Chavez.

Saat pemimpin negara-negara Arab berbaik-baik dengan Israel, justru Chavez menolak dubes Israel. Menyusul operasi ‘Menuang Timah’ yang dilancarkan Israel di Gaza 2009, Chavez mengecam keras Israel dan menyebut bahwa holocaust tengah terjadi di Gaza. Dia pun mengusir Dubes Israel keluar dari Venezuela. Saat negara-negara Arab bergandengan tangan dengan AS, Prancis, dan Inggris untuk menyuplai dana dan senjata kepada Al Qaida (atau kelompok yang ‘sejenis’ Al Qaida) di Suriah, Chavez justru mengirimkan minyak untuk membantu bangsa Suriah yang sedang diblokade ekonominya.

Dengan blak-blakan Chavez menyindir Barat, “Mereka berkata, ‘kami akan beri sanksi pemerintah.. kami akan membekukan aset mereka.. kami akan memblokade mereka, mengebom mereka, demi membela rakyat.’ Wow, betapa sinisnya. Tapi itulah imperium, itulah kegilaan imperium.”

(lebih…)
Iklan

“Normalisasi” Itu Seharusnya Kayak Gini

Istilah “normalisasi” dengan Israel, sebenarnya agak aneh. Indonesia didorong pihak-pihak tertentu untuk “menormalisasi” hubungan dengan Israel. Indonesia kan tidak pernah menjalin hubungan diplomatik sebelumnya dengan Israel dengan alasan “penjajahan Israel pada Palestina.” Jadi apanya yang dinormalkan? Menormalkan [=menganggap normal] penjajahan?

Ada fenomena yang lebih tepat disebut “normalisasi”, misalnya kembalinya hubungan baik antara Suriah dan Yordania. Selama perang Suriah, Yordania sudah berkhianat kepada tetangganya itu, dengan menyuplai senjata kepada para “demonstran” di Daraa dan membiarkan perbatasannya ditempati “pasukan-pasukan asing yang tidak berbahasa Arab” (demikian dilaporkan sejumlah media, di tahun 2011, di awal-awal konflik Suriah).

(lebih…)

Ada orang bernama Luthfie Assyaukani, salah satu founder Jaringan Islam Liberal (latar belakang pendidikannya Islamic Studies, bukan HI/Politik Internasional) menulis begini di FB-nya:

Bulan Sabit Syiah

Ancaman terbesar bagi stabilitas di Timur Tengah bukanlah Israel, tapi Bulan Sabit Syiah. Pernyataan ini saya dengar dari Prof. Ruhaini Dzuhayatin, tenaga ahli di Kantor Staf Presiden yang juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam sebuah diskusi tentang konflik Israel-Palestina baru-baru ini.

(lebih…)

Serial Diskusi Wahid Foundation Indonesia-Palestina Pasca Normalisasi Israel-UEA-Bahrain

Sambutan: Yenny Zannuba Wahid (Direktur Wahid Foundation)
Narasumber :
1. Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat bidang militer dan pertahanan)
2.Dina Y. Sulaeman (Pengamat Hubungan Internasional – Timur Tengah)
3.M. Imdadun Rahmat (Wakil Sekretaris Jendral PBNU)
4.Wahid Ridwan (Sekretaris Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah) Moderator : Mujtaba Hamdi (Direktur Eksekutif Wahid Foundation)
Sabtu, 26 September 2020 Pukul 13.00-15.00 WIB via ZOOM
Link pendaftaran: bit.ly/IPD2020WF LIVE di FB WAHID FOUNDATION

Bahrain, si “Kota Dosa” (Sin City)

 
Tanggal 12 September yll Donald Trump dengan bangga mencuit di akun Twitter-nya menyebut “kejadian bersejarah”: dua teman HEBAT kami (our two GREAT friends) -Israel dan Bahrain- telah menyepakati “perjanjian damai”.
 
Jadi jelas ya, Bahrain itu GREAT-friend-nya AS. Nah, macam apa sih GREAT-friend-nya AS itu? Sembilan tahun yll, saya pernah menulis artikel ini, isinya masih relevan untuk dicermati hari ini.
 
***
 
“Manama is one such beautiful city, where there is river of alcohol and fishes of pretty girls,” demikian promosi di sebuah situs traveling.

Angelina Jolie, Syria, dan Humanitarian Intervention

Oleh: Dina Y. Sulaeman*

(Tulisan ini sudah dimuat di website IRIB Indonesia)

Meski secara de facto upaya para pemberontak telah gagal menggulingkan Bashar Assad, namun konflik di Syria masih belum reda.  Negara-negara Barat, Turki, dan Arab (Saudi, Qatar, Emirat, Libya)  yang selama ini mendukung kelompok pemberontak  (mulai dari dana, senjata, dan bahkan mengirim pasukan untuk membantu kelompok pemberontak), masih terus melancarkan upaya-upaya untuk menghalangi proses stabilisasi di Syria.

Kebenaran di Syria satu persatu mulai terungkap (antara lain, pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh AS dan sekutunya dengan mengirim pasukan dan senjata secara illegal ke Syria; laporan-laporan dari media Barat sendiri tentang aksi brutal para pemberontak dalam membunuhi orang-orang pro Assad), namun AS dan sekutunya tetap tak mau berhenti mengganggu Syria.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa empat senator AS, salah satunya John McCain, menyerukan agar AS memberikan bantuan senjata kepada pemberontak Syria. Obama dan PM Turki, Erdogan, juga diberitakan telah bertemu untuk membahas pemberian bantuan peralatan kepada para pemberontak.

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang hipokritas Barat dan betapa media Barat telah berhasil menipu banyak orang, melakukan pembunuhan karakter terhadap Assad, bahkan sampai-sampai ada orang Indonesia yang menggalang dana untuk ‘korban’ Assad. Saya ingin menyoroti masalah ‘bantuan internasional’ dari sisi kajian Hubungan Internasional.

(lebih…)

Bahrain dan Undangan Pesta Kerajaan Inggris

Kekerasan rezim Al Khalifa di Bahrain masih terus berlanjut. Raja Hamad al Khalifa dan pamannnya, Pangeran Khalifa al Khalifa yang menjabat sebagai perdana menteri selama 40 tahun sejak Bahrain meraih ‘kemerdekaan’ dari Inggris tahun 1971, terus merepresi kelompok oposan secara brutal. Rezim Al Khalifa telah melakukan apa yang disebut ‘hukuman kolektif’, yaitu menghukum banyak orang atas ‘kesalahan’ yang dilakukan sekelompok orang. Sebagaimana diketahui, kaum oposan Bahrain sejak pertengahan Februari melakukan aksi damai menuntut dibubarkannya sistem monarkhi dan dibentuknya pemerintahan yang demokratis. Protes ini dihadapi dengan senjata. Ketika rezim Bahrain tidak mampu lagi membubarkan aksi-aksi demonstrasi, mereka meminta bantuan dari Arab Saudi dan UAE. Sejak 14 Maret, tentara kedua negara Arab itu telah mengirimkan pasukan polisi dan militernya ke Bahrain.

Selain membubarkan aksi-aksi demonstrasi dengan cara brutal, mereka juga menghancurkan sekitar 20 masjid, menggrebek dan bahkan menghancurkan rumah-rumah, serta menangkap orang-orang secara massal untuk dipenjara dan disiksa (Press TV, 9/5). Bahkan, selain rumah sakit juga dibombardir, dokter-dokter dan tenaga medis juga menghilang sehingga para demonstran yang terluka tidak bisa mendapatkan perawatan yang semestinya.

Kondisi di Bahrain saat ini sudah sangat serius, namun Dewan Keamanan PBB tetap diam. Media mainstream pun tak banyak yang membahasnya. Bahkan, mereka pun tidak memberitakan bahwa menjelang pernikahan William dan Kate, muncul protes dan tekanan dari publik Inggris kepada keluarga kerajaan. Apa pasal? Karena, kerajaan Inggris mengundang Raja Al Khalifa. Publik Inggris cukup sadar siapa Al Khalifa, sehingga mereka tidak sudi bila Al Khalifa diundang (Global Research 26/4).

(lebih…)

Krisis Timur Tengah, Minyak, dan Operasi Siluman

by: Hendrajit

Apa yang sedang terjadi di Libya dan Bahrain, merupakan operasi siluman yang disponsori oleh dua konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC), dan melibatkan setidaknya enam negara yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar.

Langkah awal yang mereka tempuh adalah menyerukan kepada dunia internasional agar tidak memasuki wilayah udara Libya. Barang tentu, hal itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi destabilisasi terhadap rejim Moamar Qadafi, yang pada akhirnya akan memicu gelombang perlawanan untuk menggusur sang tiran yang notabene merupakan binaan Amerika-Inggris sejak 2003.

Skema kerjasama strategis yang dirancang dua konglomerat Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild itu bermula sejak 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Sebagai buntut dari diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.

(lebih…)