Kajian Timur Tengah

Beranda » Neoliberalisme

Category Archives: Neoliberalisme

Trump: AS Berada di Timteng Demi Israel

Dalam pidatonya beberapa hari yll, Trump berkata, “AS tidak akan berada di Timteng kalau bukan demi melindungi Israel”.
Pengamat politik internasional sudah tahu hal ini. Para akademisi AS sendiri sudah tahu dan sebagian ada yang berani mengkritik kebijakan luar negeri AS yang boros biaya di Timur Tengah. Uang pajak rakyat dipakai untuk Israel, akibatnya banyak subsidi dan layanan publik yang terpaksa dicabut.
Misalnya, baca tulisan para akademisi HI seperti Mearsheimer& Walt, atau Robert Gilpin. Gilpin jelas menulis bahwa perang Irak [yang sebenarnya sangat merugikan rakyat AS itu dan dimulai dengan narasi bohong soal senjata pembunuh massal] didorong oleh kubu neokon dan fundamentalis Kristen, demi keamanan Israel.
Iklan

Iran dan Covid-19

Permintaan Iran kepada IMF untuk memberi pinjaman uang dalam rangka penanganan Covid-19 memunculkan banyak pertanyaan, intinya: apakah Iran akhirnya tunduk kepada Barat?

Selama ini, IMF dikenal sebagai perpanjangan tangan negara-negara kaya Barat untuk mengacak-acak perekonomian negara berkembang. Pasalnya , IMF (dan Bank Dunia) saat memberi pinjaman selalu memberi syarat: negara penerima pinjaman harus meliberalisasi ekonominya. Antara lain: harus menghemat fiskal, harus memprivatisasi BUMN, dan menderegulasi keuangan dan pasar tenaga kerja.

Menurut Thomas Gangale, dampak dari kebijakan liberalisasi ekonomi ini justru negatif, antara lain dikuranginya pelayanan pemerintah dan subsidi makanan telah memberi pukulan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. BUMN yang dijual untuk membayar utang kepada IMF justru dibeli oleh perusahaan swasta yang kemudian menghentikan pelayanan bersubsidi dan menaikkan harga-harga untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Kebijakan moneter seperti penaikan suku bunga dengan tujuan untuk menarik investor asing justru menghancurkan perusahaan domestik sehingga pengangguran meningkat. [1]

(lebih…)

Antara Hong Kong, Ukraina, Libya, Suriah

Ada kejadian ‘aneh’ di Hong Kong. Sejak akhir pekan kemarin, kelompok neo-Nazi atau sayap kanan Ukraina yang berperan penting dalam kudeta Ukraina 2014 berada di Hong Kong untuk ‘berpartisipasi’ dalam aksi separatisme di sana. [1] Apa kaitan ideologi neo-Nazi dan aktivis separatisme Hong Kong? Mungkin tidak ada. Tapi yang jelas, aktivis “demokrasi” di Ukraina maupun Hong Kong sama-sama penerima dana dari NED. [2]

Saya coba googling untuk mencari tahu, ternyata pada 29/8/ 2019, aktivis “demokrasi” (atau tepatnya: separatisme) HK mengadakan acara nobar di 40 tempat. Film yang ditayangkan adalah film “Winter on Fire: Ukraine’s Fight for Freedom”, film propaganda karya sutradara Israel kelahiran Rusia, Evgeny Afineevsky.

Sebelumnya lagi, 19 Agustus, Afineevsky membuat surat terbuka untuk warga HK, menasihati mereka agar melihat bahwa “harapan itu benar-benar terletak di tangan generasi muda saat ini, yang percaya pada perubahan dan kebebasan, bahkan jika harga kebebasan itu ditebus dengan nyawa mereka.” Para aktivis HK mengatakan, “Revolusi Ukraina merupakan inspirasi terbesar bagi warga HK”. [3]

Kejadian ini membuat saya teringat pada tulisan lama saya. Judulnya: L’Ukraine est une autre Syrie (Ukraina adalah Suriah yang lain).

(lebih…)

Contoh Kasus

***
Status sebelumnya saya hapus karena ga tega sama oknum ibu ini. Ini saya posting ulang dengan disamarkan namanya 🙂

***

Ini komentator di status saya sebelumnya yang menjawab Fahri Hamzah. Ini adalah contoh kasus, seperti apa sih hasil dari industri radikalisme itu [yang kata Fahri “cuma satu dua ceramah”].

Hasil dari ceramah kaum radikalis yang sangat masif adalah semakin banyaknya orang-orang yang merasa lebih suci dan merasa berhak menghina orang lain (istilah lainnya: kaum takfiri, suka mengkafir-kafirkan orang lain). Salah satu bentuk hinaannya adalah “kamu ga paham Quran”, “kamu Muslim?”, atau “kamu Syiah!”

Khusus untuk tuduhan Syiah, ini sangat terkait dengan Perang Suriah. Para “industrialis perang Suriah” berkepentingan untuk membuat orang Muslim Sunni membenci Syiah sehingga mau direkrut jadi “jihadis” atau setidaknya mau merogoh kocek untuk menyumbang gerakan “jihad”.

Mereka tidak (mau) tahu bahwa ulama-ulama besar sepakat bahwa Syiah adalah salah satu mazhab yang diakui dalam Islam (baca Deklarasi Amman). Tidak mau tahu bahwa mayoritas ulama-ulama Sunni di Suriah justru mendukung Bashar Assad dan pemerintahan Assad sama sekali bukan rezim Syiah.

Ibu ini radikalnya masih di level verbal dan mungkin masih level awam.

Semakin diprovokasi (oleh pemilik “industri”), mereka ini akan semakin teradikalisasi. Saya sudah kenyang dimaki-maki jauuuh… lebih kasar oleh kelompok ini, selama 8 tahun terakhir (selama Perang Suriah berlangsung). Sungguh ngeri, mereka mengaku membela Islam tapi kasarnya benar-benar level binatang. Something wrong with their brain. Zombie.

Dan level selanjutnya, beralih ke level “menyetujui kekerasan” dan bahkan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Contohnya, perempuan yang bawa anaknya sendiri sambil bawa bom bunuh diri di gereja.

Ibu ini sepertinya tidak pro ISIS (karena mengatai perempuan ISIS tidak paham Quran), tapi kelompok “jihad” itu bukan cuma ISIS. Di antara kelompok-kelompok “jihad” yang berbeda (dan simpatisannya) biasanya memang suka saling mengkafirkan.

***
Yang belum baca tulisan saya soal “industri radikalisme” ini linknya: https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/videos/1185451128313011/)

Rojava, Kurdi, dan Anarkisme (2)

Rojava, sebuah “negara otonom” yang dideklarasikan sepihak oleh sebagian populasi Kurdi di utara Suriah pada tahun 2012 telah menjadi semacam laboratorium bagi implementasi konsep ‘negeri impian’ kaum anarki. Konsep politik yang digunakan Rojava disebut ‘libertarian municipalism’ (dikemukakan Murray Bookchin), yang ‘di atas kertas’ memperjuangkan demokrasi sekular, pemberdayaan perempuan, komunalisme (tatanan yang diatur bersama oleh masyarakat; yang merupakan antitesis dari birokrasi pemerintahan ala negara).

(1) Kritik Filosofis

Di dalam Piagam Kontrak Sosial Rojava, tertulis:
“Di bawah piagam ini, kami, orang-orang dari Daerah Otonomi [Rojava] …. membangun masyarakat yang bebas dari otoriterisme, militerisme, sentralisme, dan intervensi otoritas agama dalam urusan publik, Piagam ini mengakui integritas wilayah Suriah…”

Di Pasal 3 disebutkan bahwa Daerah Otonomi ini terdiri dari tiga “canton”, yaitu Afrin, Jazirah dan Kobane, dimana komunitas etnis dan agama, (Kurdi, Arab, Syria, Chechen, Armenia, Muslim, Kristen, dan Yazidi) secara damai hidup berdampingan dalam persaudaraan.

Dari kutipan di atas, perhatikan kata “wilayah” dan “komunitas”. Di tulisan bagian 1 saya sudah menjelaskan filosofi dasar anarki, yaitu menolak segala bentuk otoritas.
Apa itu wilayah? Siapa yang menetapkan wilayah X berada di bawah pemerintahan tertentu? Siapa yang berhak menjadi penduduk di wilayah X? Tidakkah konsep wilayah meniscayakan otoritas? Lalu, tidakkah komunitas dibatasi oleh aturan dan otoritas? Apa yang membedakan komunitas Kurdi dengan Arab, komunitas Muslim dengan Kristen? Tidakkah di dalamnya ada aturan, ada batasan, ada hirarki?

(lebih…)

Ada cerita menggelikan…

Alkisah ada Paijo, doktor jurusan saluran air lulusan Kutub Selatan, selama ini kadang nulis status soal Palestina-Israel. Dia tipe sok netral dan sok toleran, dan suka menuduh orang yang pro Palestina adalah radikalis yang mendasarkan diri pada klaim-klaim Al Quran (sialnya, emang banyak radikalis yang suka bawa-bawa bendera Palestina kalo demo).

Si Paijo ini temenan baik dengan seorang perempuan cantik pro Israel, sebut saja namanya Mawar. Paijo suka membela Mawar dengan alasan “toleransi”.

Fakta yang diabaikan oleh Paijo (maklum kan dia sibuk bikin saluran air, jadi tentu tidak maksimal membaca-baca soal Timteng), kubu pro-Palestina itu banyak, bukan cuma yang pro-Hamas. Ada Muslim moderat, ada Muslim sekuler, ada komunis, ada Katolik (orang-orang Venezuela, dan Paus Francis, misalnya), dan bahkan ada orang Yahudi-Israel sendiri (saya pernah cerita soal Gilad Atzmon dan Miko Peled, 2 penulis Israel yang sangat aktif membela Palestina dan mengecam rezim Zionis).

(lebih…)

Tax Amnesty, Penggusuran, dan Berpikir Filosofis

properti

foto:tribunnews

Tulisan ini akan panjang. Saya tidak berminat menyingkatnya “demi kenyamanan pembaca”. Terserah saja, orang mau baca atau tidak tulisan ini.

Begini, sejak kuliah S1 hingga S3, selalu ada mata kuliah filsafat ilmu, yang seringkali disampaikan dengan cara ‘wow’, sehingga saya tidak paham, terus-terang saja. Saya baru paham setelah diskusi sana-sini dengan orang lain, bukan dengan dosen. Itupun baru pahamnya setelah kuliah S3, dan itupun sepertinya masih untuk diri sendiri; saya belum mampu mengajarkannya lagi ke orang lain.

Tapi ada satu hal krusial yang saya dapatkan dari perjalanan panjang saya kuliah lagi hingga S3: berpikir filosofis itu penting. Problem bangsa ini, menurut saya, akibat dari ketidakmampuan berpikir filosofis itu. Berpikir filosofis, singkatnya, berpikir hingga ke akar: apa, mengapa, bagaimana. Seseorang yang terbiasa berpikir filosofis akan selalu mencoba menggali hingga ke akar, ini apa sebenarnya? Apa akibatnya di masa kini dan di masa depan?

Misalnya soal tax amnesty. Terus-terang saya bukan ahli perpajakan dan keuangan. Tidak semua orang ahli dalam semua hal kan? Ada memang seleb-seleb medsos yang kelihatan sangat pintar dan mampu bicara sangat banyak hal. Sekali lagi, SANGAT BANYAK hal. Wuih. Tapi ada bagian-bagian tulisan mereka yang membuat sebagian orang tertawa sendiri, karena tahu bahwa yang ditulis si seleb itu sama sekali tidak benar. (lebih…)

Pasar Bebas VS Keimanan

Copas Status FB

globalization-pictureDi grup WA/FB berseliweran tulisan yang tesis intinya “melawan pasar bebas dengan keimanan dan menjauhi kemalasan”. Tadinya mau diam saja, tapi lama-lama yang ga tahan juga. Maaf kalau ada teman-teman yang tersinggung dengan tulisan ini. Tapi saya merasa perlu menyampaikan pendapat saya, kebetulan disertasi saya ya seputar masalah ini juga.

Begini, kalau mau bicara globalisasi, itu bahasan ekonomi-politik, kok malah kita diceramahi soal keimanan, menjauhi rasa malas, dll? Di pasar di daerah saya, jam 2 dini hari para pedagangnya sudah jualan (baca: 2 dini hari!), baik yang jual maupun yang beli, apa pantas disebut pemalas? Mereka bekerja keras mencari nafkah, tapi karena modal yang kecil, barang yg dijualbelikan impor (misal, bwbg putih, cabe, bahkan garam, impor), keuntungan terbesar diraih importir, bukan penjual di pasar, bukan pula konsumen. Tetangga saya ketika cabe melonjak tinggi, ya ga beli cabe. Apa dia malas, sampai ga mampu beli cabe? No, dia kerja jadi guru honorer di SMA dg honor 250rb sebulan (saya ga salah ketik), suaminya satpam di bank, tapi sistem outsourcing, sewaktu-waktu bisa dipecat, bergadang melulu jagain bank, dg gaji 1 jutaan. Malas? Tidak beriman?

Kalau kita liat kondisi globalisasi dg kacamata ekonomi-politik, kita akan lihat bahwa membanjirnya barang impor adalah masalah politik. Mengapa ketika petani surplus bawang, garam, atau beras, keran impor dibuka? Mentan bilang, beras cukup, tapi Mendag buka impor (ini terjadi bukan cuma jaman Jokowi, zaman SBY juga ya begini ini yang terjadi). Ini politik atau masalah keimanan?

(lebih…)

Dunia Kita

konflik timtengRepost Status FB

Umat Islam Indonesia yang baperan selalu merasa mereka adalah korban dari ‘kekuatan besar di luar sana’ yang anti-Islam. Padahal, di saat yang sama, kalau mau objektif melihat, justru orang-orang berjubah dan berpenampilan saleh-lah yang membawa agenda ‘kekuatan besar di luar sana’ untuk mengacaukan negeri ini. Lihat saja medsos kita penuh oleh perdebatan soal halal-haram, kafir-muslim, sementara hal-hal fundamental jadi terabaikan. Misalnya saja, perdebatan orang soal Ahok, karena diseret ke isu kafir-muslim, sentimen yang muncul menjadi tidak akurat lagi. Kasus-kasus reklamasi (kaitannya dengan lingkungan dan nasib nelayan, tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia) yang sebenarnya berakar dari kerakusan para pemilik kapital, sulit terbahas dengan objektif, karena selalu ada unsur sentimen/kepentingan.

Dan sejatinya, seluruh konflik di dunia ini memang muncul akibat kerakusan para pemilik kapital global. Mereka ini sering diistilahkan sebagai ‘imperium’, atau sering juga langsung disebut “Amerika” [sebagai negara representasi imperium, negara yang paling depan menjalankan proyek-proyek Imperium] atau “Barat”. Saya akan pakai istilah Imperium.

(lebih…)