Beranda » Neoliberalisme
Category Archives: Neoliberalisme
Contoh Kasus
***
Status sebelumnya saya hapus karena ga tega sama oknum ibu ini. Ini saya posting ulang dengan disamarkan namanya 🙂
***
Ini komentator di status saya sebelumnya yang menjawab Fahri Hamzah. Ini adalah contoh kasus, seperti apa sih hasil dari industri radikalisme itu [yang kata Fahri “cuma satu dua ceramah”].
Hasil dari ceramah kaum radikalis yang sangat masif adalah semakin banyaknya orang-orang yang merasa lebih suci dan merasa berhak menghina orang lain (istilah lainnya: kaum takfiri, suka mengkafir-kafirkan orang lain). Salah satu bentuk hinaannya adalah “kamu ga paham Quran”, “kamu Muslim?”, atau “kamu Syiah!”
Khusus untuk tuduhan Syiah, ini sangat terkait dengan Perang Suriah. Para “industrialis perang Suriah” berkepentingan untuk membuat orang Muslim Sunni membenci Syiah sehingga mau direkrut jadi “jihadis” atau setidaknya mau merogoh kocek untuk menyumbang gerakan “jihad”.
Mereka tidak (mau) tahu bahwa ulama-ulama besar sepakat bahwa Syiah adalah salah satu mazhab yang diakui dalam Islam (baca Deklarasi Amman). Tidak mau tahu bahwa mayoritas ulama-ulama Sunni di Suriah justru mendukung Bashar Assad dan pemerintahan Assad sama sekali bukan rezim Syiah.
Ibu ini radikalnya masih di level verbal dan mungkin masih level awam.
Semakin diprovokasi (oleh pemilik “industri”), mereka ini akan semakin teradikalisasi. Saya sudah kenyang dimaki-maki jauuuh… lebih kasar oleh kelompok ini, selama 8 tahun terakhir (selama Perang Suriah berlangsung). Sungguh ngeri, mereka mengaku membela Islam tapi kasarnya benar-benar level binatang. Something wrong with their brain. Zombie.
Dan level selanjutnya, beralih ke level “menyetujui kekerasan” dan bahkan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Contohnya, perempuan yang bawa anaknya sendiri sambil bawa bom bunuh diri di gereja.
Ibu ini sepertinya tidak pro ISIS (karena mengatai perempuan ISIS tidak paham Quran), tapi kelompok “jihad” itu bukan cuma ISIS. Di antara kelompok-kelompok “jihad” yang berbeda (dan simpatisannya) biasanya memang suka saling mengkafirkan.
***
Yang belum baca tulisan saya soal “industri radikalisme” ini linknya: https://www.facebook.com/DinaY.Sulaeman/videos/1185451128313011/)
Ada cerita menggelikan…
Alkisah ada Paijo, doktor jurusan saluran air lulusan Kutub Selatan, selama ini kadang nulis status soal Palestina-Israel. Dia tipe sok netral dan sok toleran, dan suka menuduh orang yang pro Palestina adalah radikalis yang mendasarkan diri pada klaim-klaim Al Quran (sialnya, emang banyak radikalis yang suka bawa-bawa bendera Palestina kalo demo).
Si Paijo ini temenan baik dengan seorang perempuan cantik pro Israel, sebut saja namanya Mawar. Paijo suka membela Mawar dengan alasan “toleransi”.
Fakta yang diabaikan oleh Paijo (maklum kan dia sibuk bikin saluran air, jadi tentu tidak maksimal membaca-baca soal Timteng), kubu pro-Palestina itu banyak, bukan cuma yang pro-Hamas. Ada Muslim moderat, ada Muslim sekuler, ada komunis, ada Katolik (orang-orang Venezuela, dan Paus Francis, misalnya), dan bahkan ada orang Yahudi-Israel sendiri (saya pernah cerita soal Gilad Atzmon dan Miko Peled, 2 penulis Israel yang sangat aktif membela Palestina dan mengecam rezim Zionis).
Tax Amnesty, Penggusuran, dan Berpikir Filosofis

foto:tribunnews
Tulisan ini akan panjang. Saya tidak berminat menyingkatnya “demi kenyamanan pembaca”. Terserah saja, orang mau baca atau tidak tulisan ini.
Begini, sejak kuliah S1 hingga S3, selalu ada mata kuliah filsafat ilmu, yang seringkali disampaikan dengan cara ‘wow’, sehingga saya tidak paham, terus-terang saja. Saya baru paham setelah diskusi sana-sini dengan orang lain, bukan dengan dosen. Itupun baru pahamnya setelah kuliah S3, dan itupun sepertinya masih untuk diri sendiri; saya belum mampu mengajarkannya lagi ke orang lain.
Tapi ada satu hal krusial yang saya dapatkan dari perjalanan panjang saya kuliah lagi hingga S3: berpikir filosofis itu penting. Problem bangsa ini, menurut saya, akibat dari ketidakmampuan berpikir filosofis itu. Berpikir filosofis, singkatnya, berpikir hingga ke akar: apa, mengapa, bagaimana. Seseorang yang terbiasa berpikir filosofis akan selalu mencoba menggali hingga ke akar, ini apa sebenarnya? Apa akibatnya di masa kini dan di masa depan?
Misalnya soal tax amnesty. Terus-terang saya bukan ahli perpajakan dan keuangan. Tidak semua orang ahli dalam semua hal kan? Ada memang seleb-seleb medsos yang kelihatan sangat pintar dan mampu bicara sangat banyak hal. Sekali lagi, SANGAT BANYAK hal. Wuih. Tapi ada bagian-bagian tulisan mereka yang membuat sebagian orang tertawa sendiri, karena tahu bahwa yang ditulis si seleb itu sama sekali tidak benar. (lebih…)
Pasar Bebas VS Keimanan
Copas Status FB
Di grup WA/FB berseliweran tulisan yang tesis intinya “melawan pasar bebas dengan keimanan dan menjauhi kemalasan”. Tadinya mau diam saja, tapi lama-lama yang ga tahan juga. Maaf kalau ada teman-teman yang tersinggung dengan tulisan ini. Tapi saya merasa perlu menyampaikan pendapat saya, kebetulan disertasi saya ya seputar masalah ini juga.
Begini, kalau mau bicara globalisasi, itu bahasan ekonomi-politik, kok malah kita diceramahi soal keimanan, menjauhi rasa malas, dll? Di pasar di daerah saya, jam 2 dini hari para pedagangnya sudah jualan (baca: 2 dini hari!), baik yang jual maupun yang beli, apa pantas disebut pemalas? Mereka bekerja keras mencari nafkah, tapi karena modal yang kecil, barang yg dijualbelikan impor (misal, bwbg putih, cabe, bahkan garam, impor), keuntungan terbesar diraih importir, bukan penjual di pasar, bukan pula konsumen. Tetangga saya ketika cabe melonjak tinggi, ya ga beli cabe. Apa dia malas, sampai ga mampu beli cabe? No, dia kerja jadi guru honorer di SMA dg honor 250rb sebulan (saya ga salah ketik), suaminya satpam di bank, tapi sistem outsourcing, sewaktu-waktu bisa dipecat, bergadang melulu jagain bank, dg gaji 1 jutaan. Malas? Tidak beriman?
Kalau kita liat kondisi globalisasi dg kacamata ekonomi-politik, kita akan lihat bahwa membanjirnya barang impor adalah masalah politik. Mengapa ketika petani surplus bawang, garam, atau beras, keran impor dibuka? Mentan bilang, beras cukup, tapi Mendag buka impor (ini terjadi bukan cuma jaman Jokowi, zaman SBY juga ya begini ini yang terjadi). Ini politik atau masalah keimanan?
Dunia Kita
Repost Status FB
Umat Islam Indonesia yang baperan selalu merasa mereka adalah korban dari ‘kekuatan besar di luar sana’ yang anti-Islam. Padahal, di saat yang sama, kalau mau objektif melihat, justru orang-orang berjubah dan berpenampilan saleh-lah yang membawa agenda ‘kekuatan besar di luar sana’ untuk mengacaukan negeri ini. Lihat saja medsos kita penuh oleh perdebatan soal halal-haram, kafir-muslim, sementara hal-hal fundamental jadi terabaikan. Misalnya saja, perdebatan orang soal Ahok, karena diseret ke isu kafir-muslim, sentimen yang muncul menjadi tidak akurat lagi. Kasus-kasus reklamasi (kaitannya dengan lingkungan dan nasib nelayan, tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia) yang sebenarnya berakar dari kerakusan para pemilik kapital, sulit terbahas dengan objektif, karena selalu ada unsur sentimen/kepentingan.
Dan sejatinya, seluruh konflik di dunia ini memang muncul akibat kerakusan para pemilik kapital global. Mereka ini sering diistilahkan sebagai ‘imperium’, atau sering juga langsung disebut “Amerika” [sebagai negara representasi imperium, negara yang paling depan menjalankan proyek-proyek Imperium] atau “Barat”. Saya akan pakai istilah Imperium.